Oleh : Idham Ananta Imron Rosyadi
Sejarah berdirinya KMT sungguh merupakan peristiwa yang spesial. KMT berdiri di era reformasi dimana demo terjadi dimana-mana. Deklarasi berdirinya KMT dilakukan 2 jam setelah pidato pengunduran diri Pak Soeharto. Terbentuknya KMT juga seiring dengan pembangunan Mustek yang menjadi saksi bisu perjuangan KMT.
KMT dibentuk atas dasar kebutuhan dan keinginan adanya wadah berkdakwah yang bersifat kekeluargaan. Berbeda dengan SKI yang sudah ada sejak itu yang sifatnya lebih kepada organisasi. Reepon positif pun berdatangan dari berbagai sisi, baik dosen maupun organisasi lainnya.
Namun hal itu tentu tidak terjadi begitu saja. Pada saat KMT belum terbentuk terdapat “gap” yang cukup jelas antara cikal bakal tujuan KMT dengan lembaga eksekutif, salah satunya dalam hal ospek. Penutupan ospek saat itu mengharuskan setiap mahasiswa baru untuk masuk ke kali di kawasan teknik dan tentu saja itu sangat ditolak bagi para pendiri KMT. Kejadian unik pun terjadi, Pak Idham (bakal calon mas’ul I) mendapat tawaran untuk bergabung di panitia acara ospek. Walaupun cukup berat hati awalnya, akhirnya ia menerimanya dengan tujuan memngaruhi rangkaian acara di ospek. Ternyata ia malah mendengar alasan dibalik tradisi berendam di kali. Setelah memahami alasan tersebut, ia pun berusaha menghilangkan tradisi tersebut dengan hal lain dan berjalan sukses. Pada akhir acara, kedoknya sebagai “double agent” pun terbongkar. Ketua BEM yang berbadan tegap pun mendatanginya. Cukup takut awalnya yang ia rasakan, namun bukan hal buruk yang terjadi malah sang ketua BEM memeluknya erat dan menangis tersedu-sedu. Ia sangat senang mendengar kabar akan adanya KMT di fakultas teknik. Dari cerita singkat ini, pelajaran yang dapat kita telaah perlunya mendekati pihak tertentu dan mendengar langsung alasan kenapa ia melakukan hal tersebut. Jangan terlalu cepat menyimpulkan suatu hal, apalagi jika hanya dengan status-statusnya di media sosial.
Kita seringkali menganggap suatu organisasi telah melakukan hal atau membuat acara yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun disisi lain kita tidak pernah mencoba mencari tahu alasan mereka melakukan atau membuat acara tersebut. Bukan berarti syariat bisa ditawar-tawar, halal adalah halal dan haram adalah haram. Bisa jadi mereka belum atau tidak tahu bahwa hal yang mereka lakukan tidak sesuai ajaran Islam. Mungkin juga mereka sebenarnya ingin meminta saran dari suatu lembaga dakwah tapi merasa segan. Disinilah peran lembaga dakwah untuk mau mencari tahu, berbincang-bincang dengan organisasi lain untuk kemudian mencri solusi yang dapat diterima bersama.
Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antar seluruh bentuk organisasi. Tidak adanya pengkotakan antar organisasi yang membuat si aktivis tidak merasa dakwah bagian dari tugasnya. Si pencinta alam tidak peduli isu sosial ataupun si pendakwah tidak memahami kondisi politik. Dengan adanya keterbukaan antar organisasi, proses dakwah akan lebih mudah. Hal ini yang terjadi pada masa-masa awal KMT. Banyak pihak yang datang untuk meminta nasehat dari KMT ataupun malah memberi nasehat kepada KMT. Ini semua dapat terjadi jika tidak adanya pengkotakan yang membuat ruang lingkup menjadi terbatas dan tiap orang hanya peduli pada organisasinya.
Menjalin kerjasama ini dapat dilakukan dengan banyak hal. Di era yang modern, tiap orang dapat mudahnya berkomunikasi melalui media sosial. Dimanapun dan kapanpun tiap orang dapat terhubung. Tapi apakah interaksi melalui media sosial ini saja cukup? Banyaknya waktu yang kita habiskan untuk berinteraksi di media sosial tidak dapat menggantikan interaksi langsung secara fisik. Tatap muka, tegur sapa dan bersalaman secara langsung menciptakan silaturahim yang nyata. Banyak orang yang keliahatannya bahagia, selalu tertawa di media sosial namun aslinya mereka kesepian. Status di media soisal juga tidak dapat menjadi patokan untuk menilai seseorang. Sehingga kecanggihan akan macam bentuk media sosial tidak akan cukup, perlu adanya inetraksi langsung untuk menciptakan kerjasama. Kita bisa meniru masa awal KMT dimana belum ada media sosial, akses komunikasi hanya dilakukan melalui buku pesan dimana sangat rentan terhadap informasi palsu. Atas izin Allah dan adanya kepercayaan akibat interaksi langsung, setiap informasi di buku pesan selalu dpaat tersampaiakn dengan baik dan efektif.
Bagi seorang pendakwah, interaksi fisik sangat diperlukan. Tolak ukur yang paling mudah untuk menilai apakah dakwah kita berhasil atau tidak adalh melihat apakah ada orang baru yang masuk dalam dunia dakwah kita dalam tiap minggu. Jika orang yang kita temui itu-itu saja, maka dakwah kita belum menyebar dan belum bisa memengaruhi orang lain. Jika kita sudah menyadari ini, kita bisa memikirkan apakah bentuk dakwah kita yang sekarang sudah benar atau belum.
Lantas jika tidak ada orang baru yang terlibat dalam dunia dakwah yang kita jalankan, maka sebenarnya dakwah kita untuk siapa ?
Yogyakarta, 29 September 2017
oleh : Bidang Hubungan Antar Lembaga